Senin, 27 Maret 2017

Menggapai Surga Dengan Berbakti Kepada Orang Tua





Oleh Rifaq Asyfiya’, Lc.


Sungguh mulia jika seorang hamba beramal di dunia untuk meraih surga, maka perlu dipahami bahwa surga bisa diraih dengan berbakti kepada kedua orang tua, suatu hal yang sepele tapi agung di sisi Allah SWT.

Kamis, 28 Juli 2016

Adab Menguap dan Bersin

Pahala dari Allah tidak hanya bisa diraih dengan menjalankan ibadah-ibadah yang sifatnya mahdhah (murni) seperti shalat, puasa, zakat, haji, atau membaca Al-Qur’an. Bahkan bisa juga diperoleh melalui aktivitas-aktivitas duniawi seperti makan, minum, tidur, bekerja, dan sebagainya. Bahkan sesuatu yangdianggap remeh oleh kebanyakan manusia bisa menjadi ladang pahala. Bersin dan menguap contohnya. Kedua hal tersebut, walaupun kecil di mata kita, bisa mendatangkan pahala bila kita menunaikan adab-adab yang diajarkan oleh Islam berkenaan dengannya. Berikut ulasannya.

Selasa, 26 Juli 2016

Aqidah Seputar Surga dan Neraka

Oleh Rifaq Asyfiya’, Lc.


Satu prinsip yang perlu ditanamkan dalam benak kita, bahwa masalah surga, neraka, dan apa yang terjadi di hari kiamat adalah masalah ghaib. Hanya Allah dan Rasul-Nya yang tahu. Rasulullah SAW pun tahu karena mendapatkan wahyu dari Allah. (Baca QS al-Jin [72]: 26-27)

Rabu, 27 April 2016

MIMPI DALAM PANDANGAN ISLAM

Nah, ini nih, topik yang lumayan penting menurut aku. Kenapa penting? Karena banyak pertanyaan yang muncul setelah kita bermimpi. Misal, apakah sebenarnya hakikat dari mimpi itu? Apakah setiap mimpi yang dialami seorang muslim itu selalu benar dan akan menjadi kenyataan? Apakah setiap mimpi itu adalah perintah dari Allah yang harus dilaksanakan dan ditaati seperti mimpinya Nabi Ibrahim ‘alaihissalam yang diperintahkan Allah untuk menyembelih putranya Ismail ‘alaihissalam? Ataukah mimpi itu hanya sekedar bunga tidur yang tidak ada faedahnya? Bagaimanakah kedudukan mimpi itu dalam Islam, dan bagaimana sikap serta keyakinan yang benar tentang mimpi tersebut?

Selasa, 10 Maret 2015

Lihatlah Orang yang di Bawahmu, Jangan Melihat Orang yang di Atasmu

Oleh Abu Haitsam

Dalam masalah dunia, lihatlah orang yang di bawah
Rasulullah bersabda: “Pandanglah orang yang di bawahmu dan janganlah engkau pandang orang yang di atasmu (dalam masalah ini). Dengan begitu, kamu tidak akan meremehkan nikmat Allah kepadamu.” (HR Muslim: 2963)
            Yang dimaksud dengan perintah “memandang orang yang di bawah” adalah dalam urusan dunia atau harta. Dalilnya ialah sabda beliau, “Jika salah seorang di antara kalian melihat orang yang memiliki kelebihan harta dan bentuk (postur) tubuh maka lihatlah kepada orang yang berada di bawahnya.” (HR al-Bukhari: 6490 dan Muslim: 7617)
            Seseorang tidak akan meremehkan nikmat Allah apabila sikap ini (melihat orang yang di bawahnya dalam urusan duniawi) dia terapkan dalam hidupnya. Ketika dia bertamu ke rumah pejabat dan melihat keindahan ruangan dan kemewahan perabotan, dalam hatinya mungkin terbersit “rumahku masih kalah dari rumah bapak pejabat ini”. Namun, ketika dia memandang pada orang lain di bawahnya, dia berkata, “Ternyata masih lebih bagus rumahku dibanding dengan rumah tetangga.” Dengan memandang orang yang di bawahnya, dia tidak akan meremehkan nikmat yang Allah berikan. Bahkan dia akan mensyukuri nikmat tersebut karena melihat masih banyak orang yang tertinggal jauh darinya.
            Lain halnya dengan orang yang satu ini. Ketika dia melihat saudaranya memiliki ponsel iPhone atau Blackberry seharga lima jutaan ke atas, dia merasa ponselnya masih sangat tertinggal jauh dari temannya tersebut. Akhirnya, yang ada pada dirinya adalah kurang mensyukuri nikmat. Dia menganggap bahwa nikmat tersebut (ponsel yang dia miliki) masih sedikit / kecil nilainya. Bahkan, yang lebih parah, selalu ada hasad (dengki) yang berakibat dia akan memusuhi dan membenci temannya tadi. Padahal, masih banyak orang di bawah dirinya yang memiliki ponsel dengan kualitas yang jauh lebih rendah. Inilah cara pandang yang keliru, namun banyak menimpa kebanyakan orang saat ini.

Senin, 09 Maret 2015

Harga Diri yang Membuat Taqwa dan Berguna

Dalam Islam, harga diri adalah mempertahankan diri agar selalu dalam keadaan terbaik dan tidak terpengaruh untuk berbuat tercela karena memiliki taqwa kepada Allah SWT. Sayangnya, kebanyakan masyarakat kita mengartikan harga diri dan kemuliaan dilihat dari harta, jabatan, dsb. Masyarakat sudah terjebak dalam persepsi dimana orang yang memiliki harta berlimpah adalah orang yang paling dihormati. Bila kita membayangkan apa jadinya bila setiap muslim di negeri yang masyhur ini memiliki pengertian harga diri seperti yang Islam ajarkan, maka sudah pasti berbagai kejahatan tidak akan muncul seperti sekarang. Karena manusia akan saling tolong-menolong untuk mencapai kesejahteraan bersama. Untuk merubah fenomena yang terjadi sekarang memang tidak mudah dan akan membutuhkan waktu yang sangat lama. Namun, apabila Allah SWT berkehendak maka tidak ada yang tidak mungkin terjadi oleh-Nya. Mulai saat ini, mari kita saling berbenah diri masing-masing, mencoba bertanya pada hati nurani apakah sudah layak kita sebagai muslim yang diridhoi oleh Allah SWT. Mulailah mengembalikan sifat-sifat taqwa, sifat takut akan murka Allah SWT, dan sifat waspada karena kita selalu diawasi oleh Allah SWT. Karena manusia yang mulia dan tinggi derajatnya di sisi Allah SWT adalah manusia yang selalu bertaqwa kepada-Nya. Mari kita kembalikan harga diri kita yang sekarang sudah diganti dengan harta dan jabatan, dengan harga diri yang sesungguhnya. Yaitu harga diri menurut Islam yang akan membuat kita semakin taqwa dan berguna.


(Sumber: Lembar Jum’at Ikadi, diubah seperlunya)